KabarJawa.com — Ketua Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Budi Mulyanto, mengusulkan penyederhanaan aturan perundangan di sektor kelapa sawit, yang mencakup semua aspek dari hulu hingga hilir melalui pembentukan semacam omnibus law khusus untuk sawit.
Prof. Budi Mulyanto menekankan bahwa sektor kelapa sawit Indonesia memiliki peran vital dalam perekonomian negara. Oleh karena itu, dia mengusulkan adanya penyederhanaan regulasi untuk meningkatkan tata kelola industri tersebut. Budi menyarankan untuk menyusun sebuah omnibus law sawit yang akan mengatur secara komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
“Sawit sangat istimewa bagi bangsa Indonesia karena manfaatnya yang besar, baik untuk ekonomi, energi, maupun lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, kami mengusulkan agar ada satu badan yang mengelola semua urusan sawit dari A sampai Z,” ujar Budi saat memberikan keterangan di Jakarta, Sabtu.
Budi berharap, dengan adanya regulasi yang lebih sederhana dan terpusat, sektor sawit dapat berjalan lebih efisien, sehingga seluruh pihak yang terlibat—dari petani hingga investor dapat merasakan dampak positifnya. Penyederhanaan ini diharapkan dapat mengurangi birokrasi yang berbelit-belit, yang selama ini dianggap menghambat pertumbuhan industri sawit.
Menurut Budi, pembentukan badan pengelola sawit ini penting untuk memperbaiki kualitas pengelolaan dan memaksimalkan potensi sumber daya kelapa sawit di Indonesia. Badan ini, katanya, juga harus mampu melakukan pembaruan data secara periodik agar dapat mendukung perkembangan industri sawit yang lebih baik.
“Data yang valid dan up-to-date sangat penting untuk pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan industri sawit. Dengan adanya lembaga yang mengelola data sawit secara terpusat, pengembangan industri ini dapat berjalan lebih terarah dan terstruktur,” tambahnya.
Budi juga menggarisbawahi pentingnya untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Dengan adanya regulasi yang jelas dan lembaga pengelola yang terorganisir, Budi berharap sektor sawit Indonesia dapat meningkatkan nilai kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB), yang akan menarik lebih banyak investor asing.
Budi mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto, memiliki peluang besar untuk memperbaiki industri sawit Indonesia melalui kebijakan yang lebih terstruktur dan komprehensif. Menurutnya, sektor sawit yang tertata dengan baik dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian nasional.
“Saya berharap Pemerintah Presiden Prabowo dapat memberikan perhatian khusus untuk memperkuat sektor ini, karena sawit memiliki dampak ekonomi yang luar biasa bagi negara,” ujar Budi.
Selain itu, Budi juga memberikan apresiasi terhadap hasil kajian yang dilakukan oleh Ombudsman RI terkait potensi maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit. Kajian ini mengungkapkan adanya sejumlah permasalahan serius yang perlu segera diatasi, seperti tumpang tindihnya status lahan sawit dengan kawasan hutan.
“Ombudsman RI telah melakukan kajian yang sangat mendalam terkait permasalahan tata kelola industri sawit. Hasil temuan ini bisa menjadi dasar untuk kebijakan afirmatif yang dapat menyelesaikan masalah yang ada,” ujar Budi.
Ombudsman RI sebelumnya menemukan bahwa status lahan perkebunan sawit di Indonesia masih banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Hal ini menjadi salah satu masalah utama dalam keberlangsungan usaha perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan temuan Ombudsman, luasan tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan mencapai sekitar 3.222.350 hektare, yang melibatkan 3.235 subjek hukum.
Tumpang tindih lahan ini menyebabkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan petani sawit dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sektor tersebut. Menurut Ombudsman, ketidakjelasan status lahan berpotensi menghambat pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia.
Ketidakpastian hukum yang muncul akibat konflik status lahan sawit dengan kawasan hutan ini berpotensi menyebabkan kerugian bagi para petani dan perusahaan. Hal ini berimplikasi pada sulitnya mengakses sumber daya alam, pembiayaan, serta pasar yang lebih luas.Petani kelapa sawit sering kali terjebak dalam ketidakpastian hukum karena lahan yang mereka kelola tidak tercatat secara sah. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang mengelola perkebunan sawit juga menghadapi hambatan besar terkait izin dan kepemilikan lahan.
Ombudsman RI juga menemukan potensi maladministrasi lainnya dalam tata kelola industri sawit. Salah satunya adalah ketidakjelasan prosedur dalam persaingan usaha antara Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun yang dimilikinya dan PKS tanpa kebun. Selain itu, ada juga kebijakan biodiesel yang dianggap kurang efektif dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME) yang belum memadai.
“Maladministrasi ini menciptakan ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam persaingan usaha, serta merugikan sektor kelapa sawit secara keseluruhan,” kata anggota Ombudsman RI.
Sebagai solusi, Ombudsman RI mengusulkan agar dibentuk sebuah lembaga khusus yang menangani kebijakan terkait kelapa sawit. Lembaga ini akan memiliki kewenangan yang cukup untuk mengintegrasikan kebijakan dan mengawasi implementasi regulasi di sektor sawit.Menurut Ombudsman, pembentukan lembaga ini akan memastikan bahwa kebijakan terkait kelapa sawit dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien. Lembaga ini juga diharapkan dapat menangani semua permasalahan yang ada secara terpadu, dari hulu hingga hilir.
Budi Mulyanto menambahkan bahwa tata kelola yang baik sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing industri kelapa sawit Indonesia di pasar global. “Industri sawit yang dikelola dengan baik akan menghasilkan produk yang lebih kompetitif, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara produsen sawit lainnya,” jelas Budi.Dengan pengelolaan yang lebih baik, Indonesia diharapkan bisa mempertahankan posisi sebagai salah satu produsen terbesar kelapa sawit dunia, serta meningkatkan ekspor produk kelapa sawit yang semakin banyak dibutuhkan oleh negara-negara tujuan ekspor.
Ombudsman RI juga mengungkapkan bahwa tata kelola industri sawit yang tidak optimal dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Berdasarkan temuan Ombudsman, kerugian yang disebabkan oleh permasalahan tata kelola ini diperkirakan mencapai sekitar Rp279,1 triliun per tahun.Kerugian ini tidak hanya dirasakan oleh negara, tetapi juga oleh para petani, perusahaan, dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk segera melakukan perbaikan dalam sistem pengelolaan industri sawit agar dapat mengurangi potensi kerugian tersebut.
Pemerintah diharapkan dapat segera merespons temuan-temuan ini dengan langkah-langkah konkret. Budi Mulyanto menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan solusi yang menyeluruh bagi permasalahan yang ada.
“Sektor sawit bukan hanya milik pemerintah atau perusahaan besar. Ini adalah industri yang melibatkan banyak pihak, termasuk petani kecil. Oleh karena itu, semua pihak harus duduk bersama untuk mencari solusi yang saling menguntungkan,” tambah Budi.
Ke depan, kebijakan terkait sawit diharapkan lebih mengutamakan keberlanjutan dan kesejahteraan bagi seluruh pelaku industri. Budi juga menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak pada lingkungan, agar industri sawit dapat terus berkembang tanpa merusak ekosistem.
“Kebijakan harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Dengan begitu, industri sawit Indonesia tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan bagi generasi mendatang,” ujar Budi.
Sebagai bagian dari reformasi di sektor ini, Budi berharap pemerintah dapat memperkuat regulasi yang ada dan memastikan bahwa semua pihak mematuhi ketentuan yang berlaku. Regulasi yang lebih tegas diharapkan dapat mendorong integritas industri sawit dan mencegah praktik-praktik yang merugikan.
Penyederhanaan regulasi dan pembentukan lembaga khusus sawit yang memiliki kewenangan untuk mengawasi implementasi kebijakan akan menjadi langkah strategis untuk menyelesaikan permasalahan dalam industri sawit. Dengan demikian, sektor sawit Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih baik, memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara, dan mengurangi potensi kerugian yang ada.
Sumber: Beberapa media
Editor: Sarina