Mengungkap Peredaran Miras di Yogyakarta: Pengawasan yang Masih Lemah

(int)

KabarJawa.com — Peredaran minuman beralkohol (miras) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini semakin memprihatinkan. Meski menjadi isu yang telah lama berkembang, pengawasan terhadap peredaran miras di wilayah ini kerap kali dianggap kurang maksimal. Fenomena ini mendapat perhatian khusus setelah Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengeluarkan Instruksi Gubernur DIY Nomor 5 Tahun 2024. Instruksi tersebut mengatur tentang inventarisasi, pengawasan, hingga peredaran miras di wilayah ini.

Instruksi Gubernur yang diterbitkan pada tahun 2024 ini diharapkan dapat menjadi langkah konkret dalam menangani peredaran miras yang semakin meluas. Menurut Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, instruksi ini bertujuan untuk memberikan pengawasan yang lebih ketat terhadap peredaran miras, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi. Hal ini mengingat meningkatnya kekhawatiran akan dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan miras.

Namun, langkah ini mendapat respons beragam, terutama dari kalangan akademisi. Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajad Sulistyo Widhyharto, mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengeluarkan Instruksi Gubernur tersebut. Ia menilai bahwa pengawasan terhadap peredaran miras di DIY memang belum berjalan secara maksimal, meskipun permasalahan ini sudah berlangsung cukup lama.

“Masalah miras ini tidak hanya soal jual-beli, tetapi juga terkait dengan distribusinya. Sebagian besar penduduk Yogyakarta bukan penduduk asli, sehingga barang-barang seperti miras bisa masuk dengan bebas dari berbagai daerah. Hal ini semakin mempersulit pengawasan,” ungkap Derajad dalam keterangannya pada Kamis (7/11/2024).

Derajad menilai bahwa Instruksi Gubernur DIY Nomor 5 Tahun 2024 ini merupakan langkah yang cukup responsif terhadap permasalahan yang ada. Meski demikian, menurutnya, seharusnya pemerintah sudah lebih awal mengantisipasi masalah pengendalian peredaran miras, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya terbatas pada kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan keamanan.

Selama ini, pengawasan terhadap peredaran miras di DIY banyak dilakukan secara terbatas pada sektor formal saja, sementara sektor informal, yang menjadi salah satu jalur utama peredaran miras ilegal, masih terabaikan. Industri minuman beralkohol di DIY, menurut Derajad, bergerak sangat banyak di sektor informal, seperti penjualan miras oplosan atau yang beredar di pasar gelap. Industri ini sangat sulit untuk dikendalikan oleh pemerintah, mengingat sifatnya yang seringkali bergerak secara underground.

“Regulasi yang ada sudah cukup relevan untuk sektor formal, tetapi pengawasan terhadap sektor informal perlu diperkuat. Pengawasan formal hanya mencakup penjualan miras yang sah, sementara peredaran miras ilegal yang terjadi di pasar gelap atau melalui jalur distribusi tak resmi masih sangat marak,” jelasnya.

Di balik peredaran miras yang tak terkontrol, industri minuman beralkohol juga memiliki peran penting dalam perekonomian Yogyakarta, terutama di sektor pariwisata. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa sektor ini turut mendukung sektor pariwisata, yang memang menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi DIY.

Sektor pariwisata yang berkembang pesat di Yogyakarta diyakini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan industri minuman beralkohol, yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan, baik lokal maupun internasional. Restoran, kafe, dan bar yang ada di Yogyakarta banyak menawarkan berbagai macam minuman beralkohol untuk menarik minat pengunjung.

Namun, di balik kontribusi positifnya terhadap perekonomian, pengawasan terhadap industri miras masih sangat lemah. Salah satu masalah utama adalah peredaran uang yang terjadi dalam transaksi jual-beli miras sulit untuk dilacak, terutama ketika peredaran ini terjadi di sektor informal. Menurut Derajad, ini menciptakan apa yang dikenal dengan istilah “underground economy” yang menyulitkan pengawasan dan pengaturan.

“Memang benar bahwa industri miras ini menjadi bagian dari ekonomi bawah tanah yang sulit diawasi. Selain peredarannya, produk-produk miras itu sendiri juga perlu mendapatkan perhatian. Mungkin produk resmi yang terdaftar bisa tercatat, tetapi bagaimana dengan produk oplosan yang beredar bebas?” kata Derajad.

Untuk mengatasi masalah peredaran miras ini, Derajad mengungkapkan bahwa pemerintah perlu melakukan penataan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap industri miras, baik di sektor formal maupun informal. Pengawasan ini harus mencakup semua aspek, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi miras.

Pemerintah juga perlu mengidentifikasi dan mendata industri miras yang selama ini beroperasi secara ilegal. Dengan mengetahui industri miras yang ada, pengawasan terhadap distribusi dan penjualannya bisa dilakukan secara lebih terpusat. Penjual miras yang tidak terdaftar perlu diberikan sanksi tegas, sementara regulasi yang ada perlu diperbarui untuk mengakomodasi perubahan dalam pola peredaran dan konsumsi miras di masyarakat.

Menurutnya, meskipun instruksi gubernur ini merupakan langkah awal yang baik, pemerintah perlu terus berupaya untuk menciptakan sistem pengawasan yang lebih efektif, agar dampak negatif dari peredaran miras di DIY dapat diminimalisir.

Masalah peredaran minuman beralkohol di Daerah Istimewa Yogyakarta memang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Instruksi Gubernur DIY Nomor 5 Tahun 2024 adalah langkah positif, tetapi tidak cukup hanya mengandalkan pengawasan terhadap sektor formal saja. Upaya pengawasan yang lebih menyeluruh dan komprehensif, termasuk sektor informal, harus segera dilakukan untuk memastikan peredaran miras yang lebih aman dan terkontrol. Sementara itu, kontribusi industri miras terhadap ekonomi lokal, khususnya sektor pariwisata, harus diimbangi dengan pengawasan yang lebih ketat demi kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. (Sarina)