KabarJawa.com — Jauh sebelum maraknya gagasan “makan siang gratis,” aktivitas serupa telah eksis di Kota Semarang. Kantin Kebajikan menjadi pelopor dengan konsistensi membagikan ratusan porsi makan siang secara cuma-cuma, terutama untuk masyarakat duafa di sekitar Pecinan.
Penggagas Kantin Kebajikan, Agung Kurniawan, menjelaskan bahwa mereka rutin menyediakan 500 porsi makanan setiap minggunya, atau lebih dari 2.000 porsi dalam sebulan.
Tak main-main, kegiatan berbagi ini telah berlangsung selama 8 tahun. Meski demikian, perjalanan Kantin Kebajikan tidaklah mudah. Tantangan-tantangan seperti masalah keuangan sering kali muncul.
“Kami mengandalkan dana swadaya. Pernah kami mengalami kelebihan anggaran karena kurangnya sumbangan,” ungkap Agung saat diwawancarai oleh beritajateng.tv pada Selasa, 30 April 2024.
Dikutip dari Beritajateng.tv, Kantin Kebajikan tidak memiliki donatur tetap dan bergantung pada sukarelawan, serta dukungan dari orang-orang terdekat. Bahkan, Kantin Kebajikan hampir gulung tikar karena kekurangan dana.
Sebagai berkah, Agung bertemu secara kebetulan dengan mantan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, di sebuah warung makan. Hendi memberikan bantuan dana kecil yang memungkinkan Kantin Kebajikan untuk tetap beroperasi.
“Insiden itu memotivasi saya; jika niat baik kita sungguh, alam semesta akan mendukung. Kami berkeinginan untuk mendirikan yayasan agar kegiatan ini dapat berlanjut lebih lama,” terangnya.
Relawan program ‘Makan Siang Gratis’ Kantin Kebajikan bekerja tanpa bayaran.
Agung enggan mengungkapkan jumlah dana yang mereka keluarkan setiap bulan, namun jumlahnya mencapai jutaan rupiah.
Untungnya, ada banyak orang baik, dari berbagai kalangan usia, yang tergerak untuk mendukung kelangsungan Kantin Kebajikan.
Mereka rela bergotong-royong setiap hari Selasa hingga Jumat untuk menyiapkan segala kebutuhan Kantin Kebajikan, mulai dari belanja, memasak, menyiapkan tempat, hingga mencuci piring.
Salah satu dari mereka adalah Hok Tjhoen, yang telah menjadi juru masak di Kantin Kebajikan selama 8 tahun. Setiap minggunya, ia sibuk berbelanja ke pasar dan memasak masakan.
“Pada awalnya saya hanya membantu menata, tapi saya merasa nasi terlalu sedikit jika dipesan dari luar, sehingga saya menawarkan diri untuk menjadi juru masak di sini. Saya pikir dengan memasak sendiri, saya bisa membuat lebih banyak porsi,” ceritanya.
Meski masih bekerja di daerah Brumbungan setiap sore, Tjhoen rela memasak ratusan porsi tanpa mendapatkan bayaran sepeser pun.
“Karena rasa kasih dan keinginan untuk berbagi, melihat orang menikmati masakan yang saya sajikan membuat saya bahagia, terutama jika semuanya habis,” katanya.