KabarJawa.com — Peternak sapi perah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, sedang menghadapi masalah besar yang mengancam mata pencaharian mereka. Dalam beberapa minggu terakhir, puluhan ribu liter susu hasil panen mereka terpaksa dibuang akibat pembatasan kuota penerimaan susu yang diberlakukan oleh industri pengolahan susu (IPS).
Pembatasan ini memaksa peternak untuk menghadapi kerugian finansial yang signifikan, bahkan berisiko kehilangan sumber penghasilan utama mereka. Yang lebih mengecewakan, tindakan ini diambil tanpa adanya pemberitahuan yang memadai atau solusi kompensasi dari pihak IPS.
Pada awalnya, peternak di Boyolali mengandalkan industri pengolahan susu sebagai saluran utama untuk menjual susu yang dihasilkan dari sapi perah mereka. Biasanya, susu yang diproduksi rutin dikirim ke pabrik untuk diolah menjadi produk susu siap konsumsi. Namun, baru-baru ini, IPS memberlakukan pembatasan kuota penerimaan susu, yang berarti pabrik hanya akan menerima jumlah susu tertentu. Keputusan ini menyebabkan penumpukan susu di peternakan, yang menjadi masalah besar karena susu merupakan komoditas yang sangat mudah rusak.
Menurut Sutrisno, seorang peternak di Boyolali, pembatasan kuota ini sangat mengejutkan. “Kami sudah bertahun-tahun mengirim susu ke pabrik, tapi ini pertama kalinya ada pemangkasan kuota yang begitu mendalam tanpa pemberitahuan atau solusi alternatif. Susu yang seharusnya bisa dijual, kini harus dibuang begitu saja,” ujarnya. Dampak dari kebijakan ini sangat terasa bagi peternak kecil yang menggantungkan hidupnya pada penjualan susu harian. Tanpa ada informasi lebih lanjut dari IPS, mereka merasa dirugikan.
Peternakan sapi perah di Boyolali mayoritas dikelola oleh peternak kecil yang bergantung pada hasil penjualan susu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Susu adalah komoditas yang mudah rusak jika tidak segera diolah atau dijual. Oleh karena itu, pembatasan kuota yang tidak diimbangi dengan solusi pengolahan atau distribusi alternatif telah menyebabkan kerugian besar bagi peternak. Mereka kini menghadapi pilihan yang sulit membuang susu yang sudah dihasilkan atau mencoba mencari pasar alternatif yang tidak selalu tersedia.
Sutrisno menambahkan, “Kami tidak tahu harus mencari kemana lagi. Kami tidak memiliki akses langsung ke pasar konsumen atau sistem distribusi yang memadai. Kami hanya bergantung pada pabrik yang menerima susu kami, dan sekarang itu tidak ada.”
Bagi para peternak, selain kerugian finansial yang sangat besar, masalah ini juga menambah tekanan psikologis. Beberapa peternak bahkan mengungkapkan bahwa mereka merasa putus asa karena tidak ada pihak yang memberikan perhatian atau solusi yang jelas terkait masalah ini.
Dalam upaya mengurangi kerugian dan memberi manfaat kepada masyarakat, beberapa peternak Boyolali menggelar aksi bagi-bagi susu gratis. Pada Jumat pagi, 8 November 2024, sekitar 500 liter susu dibagikan kepada masyarakat di kawasan Simpang Lima Boyolali Kota. Aksi ini dimulai sekitar pukul 08.00 WIB dan berlangsung hanya dalam waktu 15 menit, susu yang dibagikan habis diambil oleh warga yang antusias menerima produk gratis ini.
Meski aksi ini sedikit membantu, terutama bagi warga yang membutuhkan, namun bagi peternak itu sendiri, masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan aksi sosial. Peternak berharap ada langkah jangka panjang yang diambil oleh pemerintah atau pihak terkait untuk mengatasi masalah pembatasan kuota ini dan menjaga stabilitas pendapatan mereka.
Setelah beberapa minggu menghadapi kesulitan, para peternak yang terdampak akhirnya berinisiatif untuk mencari solusi melalui jalur resmi. Pada pagi hari yang sama, sekitar pukul 09.00 WIB, sekitar 30 peternak dari berbagai kecamatan di Boyolali mendatangi Kantor Dinas Peternakan setempat untuk mengajukan keluhan mereka. Mereka berharap pemerintah dapat membantu dalam mencari solusi jangka panjang yang tidak hanya menyelesaikan masalah distribusi susu, tetapi juga melindungi keberlangsungan usaha mereka.
Dalam pertemuan tersebut, peternak meminta bantuan untuk membuang susu yang sudah tidak bisa disalurkan dan dipastikan akan rusak. Meskipun langkah ini sangat merugikan, itu dianggap sebagai pilihan terakhir untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Perwakilan dari Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali menyatakan bahwa pihaknya sedang berusaha untuk mencari solusi terbaik bagi para peternak. Mereka berencana untuk melakukan koordinasi dengan IPS dan pihak terkait lainnya untuk memfasilitasi diskusi guna mengatasi hambatan dalam penyaluran susu. Namun, hingga kini belum ada kejelasan kapan solusi konkret akan tersedia.
Hingga saat ini, penyebab pasti pembatasan kuota tersebut belum dijelaskan oleh pihak IPS. Beberapa spekulasi yang beredar di kalangan peternak dan masyarakat antara lain, terjadinya peningkatan produksi susu yang tidak terduga, sementara permintaan pasar justru menurun. Hal ini memaksa IPS untuk menyesuaikan jumlah susu yang diterima.
Selain itu, ada kemungkinan masalah logistik atau keterbatasan kapasitas penyimpanan di IPS yang menghambat distribusi susu ke pasar. Penurunan harga susu di pasar juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pabrik untuk mengurangi jumlah susu yang mereka serap dari peternak, guna menghindari kerugian produksi.
Namun, sampai saat ini, peternak belum menerima penjelasan resmi yang memadai dari IPS. Mereka mendesak agar ada transparansi dalam pengambilan kebijakan yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup mereka.
Krisis susu ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah tentang perlunya menjaga stabilitas sektor peternakan di Indonesia. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret, baik melalui kebijakan strategis maupun dukungan langsung, untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh peternak. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain adalah pembangunan atau pendampingan fasilitas pengolahan susu lokal, yang dapat memberikan fleksibilitas dalam distribusi produk susu.
Selain itu, pemerintah juga bisa mencari cara agar susu peternak dapat dijual ke pasar alternatif selain IPS, atau menjalin kemitraan dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dapat membantu menyalurkan produk susu. Sebagai langkah jangka pendek, pemberian subsidi atau kompensasi kepada peternak yang terdampak pembatasan kuota juga sangat diperlukan untuk mengurangi kerugian finansial mereka.
Dengan kebijakan yang tepat, pemerintah dapat membantu para peternak mengatasi krisis ini dan mengurangi risiko krisis serupa di masa depan. Krisis kuota susu di Boyolali ini merupakan pengingat akan perlunya kebijakan yang lebih berkelanjutan dan transparansi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada sektor pertanian dan peternakan di Indonesia. (Sarina)