KabarJawa.com — Fenomena pasar yang semakin sepi menjadi sorotan publik setelah banyak pedagang yang mengeluhkan kondisi perdagangan yang lesu. Salah satu pasar yang kini tengah menjadi perhatian adalah Pasar Kapasan, yang terletak di pusat Kota Surabaya. Beberapa pedagang di pasar tersebut mengungkapkan rasa frustasi mereka atas menurunnya jumlah pembeli dalam beberapa bulan terakhir. Video yang menunjukkan sepinya aktivitas di pasar ini menjadi viral di media sosial, khususnya Instagram dan TikTok, memperlihatkan bagaimana para pedagang mulai kesulitan mempertahankan usaha mereka.
Pada video yang viral, salah seorang pedagang di Pasar Kapasan mengungkapkan bahwa dahulu pasar ini sangat terkenal dengan keramaian pembeli. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, keramaian itu berangsur-angsur menghilang. “Dunia perdagangan tidak baik-baik saja, hancur perdagangan dunia. Dulu pasar ini sangat ramai, sekarang banyak yang gulung tikar,” tulis pedagang dalam video tersebut yang diunggah pada Jumat (15/11/2024). Stok barang dagangan yang menumpuk di kios-kios tersebut mencerminkan bagaimana kondisi pasar yang mulai kehilangan daya tarik bagi pengunjung.
Fenomena sepinya pasar juga tak hanya terjadi di Pasar Kapasan. Pusat Grosir Surabaya (PGS), yang terkenal dengan beragam pilihan barang grosir, turut merasakan dampak serupa. Beberapa pedagang di PGS mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam. Salah seorang pedagang menulis di media sosial, “Sudah 12 tahun saya berdagang di sini, tapi baru kali ini saya merasakan momen seperti ini. Selama satu minggu, tidak ada pembeli sama sekali. Produk yang dijual pun hanya laku 2 atau 3 item, bahkan kadang tidak laku sama sekali,” tulis pedagang tersebut.
Keluhan serupa datang dari berbagai pasar di Surabaya. Banyak pedagang yang mengaku tidak lagi bisa bertahan dengan omset yang terus menurun. Sebagian besar dari mereka merasa bingung karena perubahan perilaku konsumen yang beralih ke belanja online. Dengan semakin meningkatnya penggunaan e-commerce, pasar tradisional tampaknya kehilangan daya tariknya, terutama di kalangan generasi muda yang lebih terbiasa berbelanja secara digital.
Gigih Prihantono, seorang pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, memberikan penjelasan terkait kondisi ini. Menurutnya, salah satu penyebab utama lesunya pasar adalah melemahnya daya beli masyarakat. “Daya beli masyarakat saat ini sedang lemah. Selain itu, kita juga sedang menghadapi deflasi yang membuat banyak orang lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” jelas Gigih.
Selain faktor ekonomi yang melambat, Gigih juga mencatat adanya perubahan dalam struktur konsumsi masyarakat. Orang kini lebih memilih untuk berbelanja online karena lebih praktis dan hemat waktu. “Ada pergeseran pola belanja masyarakat yang lebih memilih e-commerce dibandingkan datang langsung ke pasar tradisional. Hal ini tentu mempengaruhi pasar-pasar yang bergantung pada pembeli langsung,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Gigih masih melihat adanya potensi besar untuk pasar tradisional di Surabaya untuk berkembang. Ia meyakini bahwa pasar tidak akan mati jika pengelola dan pemerintah bisa mengambil langkah-langkah kreatif untuk menarik kembali pengunjung. “Masalahnya terletak pada pengelola pasar yang kurang kreatif. Mereka harus lebih inovatif dalam mengadakan kegiatan atau promosi untuk menarik minat pembeli,” tambah Gigih.
Gigih mengusulkan agar pengelola pasar bisa mengadakan berbagai event atau aktivitas menarik yang dapat mendatangkan keramaian. “Contohnya, pasar bisa mengadakan bazar, diskon besar-besaran, atau acara khusus untuk menarik pengunjung. Dengan begitu, pasar bisa kembali ramai dan memberikan kesempatan bagi pedagang untuk meningkatkan penjualan mereka,” jelasnya.
Selain itu, Gigih juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan di pasar. “Pelayanan yang baik sangat penting untuk menarik pelanggan. Jika pengelola pasar bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, tentu pembeli akan merasa nyaman dan tertarik untuk datang kembali,” ujarnya. Menurutnya, pasar tradisional masih memiliki potensi besar karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat di Surabaya.
Terkait dengan situasi pasar yang semakin lesu, Gigih menyarankan agar para pedagang juga lebih adaptif dengan perubahan zaman. “Pedagang pasar harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Mereka harus siap beradaptasi dengan teknologi dan tren yang ada, misalnya dengan menawarkan produk secara online atau melalui platform e-commerce,” katanya.
Gigih juga mencatat bahwa pemerintah dan pengelola pasar perlu mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk mempermudah transaksi dan meningkatkan layanan kepada pembeli. “Pasar tradisional bisa dikombinasikan dengan teknologi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Misalnya, sistem pembayaran digital atau aplikasi belanja online yang memungkinkan pelanggan membeli barang tanpa harus datang langsung ke pasar,” tambahnya.
Tantangan yang dihadapi pasar tradisional tidak hanya terbatas pada daya beli yang melemah dan pergeseran pola belanja. Namun, faktor eksternal seperti pandemi COVID-19 juga turut memperburuk keadaan. Banyak pasar yang sempat tutup atau mengalami pembatasan pengunjung selama masa puncak pandemi, yang mengurangi jumlah pembeli secara signifikan.
Namun, Gigih optimis bahwa kondisi ekonomi akan membaik pada akhir 2024, terutama setelah Pilkada 2024. Menurutnya, deflasi yang terjadi saat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika politik, termasuk Pilkada dan Pilpres. “Setelah Pilkada selesai, saya memperkirakan ekonomi akan mulai stabil. Dampaknya, daya beli masyarakat juga akan membaik, yang diharapkan dapat membantu pemulihan pasar tradisional,” ungkap Gigih.
Gigih memperkirakan bahwa pada Desember 2024 hingga Januari 2025, kondisi ekonomi akan menunjukkan tanda-tanda perbaikan. “Dengan stabilisasi ekonomi, diharapkan masyarakat akan kembali memiliki daya beli yang lebih baik. Ini tentunya akan berdampak positif pada sektor perdagangan, termasuk pasar-pasar tradisional,” tutupnya.
Dengan langkah-langkah yang tepat dan strategi yang kreatif, pasar-pasar di Surabaya masih memiliki kesempatan untuk kembali berkembang. Pengelola pasar dan pemerintah perlu bekerja sama untuk menciptakan inovasi yang dapat menarik pengunjung kembali ke pasar tradisional, dan memanfaatkan potensi pasar yang ada. (Sarina)