News  

Kemajuan Pengobatan TBC Resisten Obat: Harapan Baru dalam Enam Bulan

Workshop Kampanye Panduan Pengobatan Baru TBC RO Berdurasi 6 Bulan (BPaL/M), di Hotel Novotel

JabarJawa.com — Ketua Yayasan Semar, Diky Kurniawan, memberikan kabar baik mengenai pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) dalam Workshop Kampanye Panduan Pengobatan Baru TBC RO Berdurasi 6 Bulan (BPaL/M) yang berlangsung di Hotel Novotel. Diky menjelaskan bahwa dengan teknologi terkini, pengobatan TBC RO kini dapat diselesaikan dalam waktu enam bulan dengan dosis obat yang jauh lebih sedikit dibandingkan sebelumnya Selasa (3/9/2024).

Diky, yang pernah menjadi penyintas TBC RO pada tahun 2014, menggambarkan betapa beratnya pengobatan pada masa itu. Dia harus mengonsumsi hingga 26 butir obat per hari serta obat suntik. “Obatnya bisa semangkuk sekali minum. Saya merasa sangat lelah dan tidak bisa melakukan aktivitas apapun setelah meminumnya,” ujarnya. Namun, dengan metode baru, dosis obat berkurang drastis menjadi sekitar enam butir per hari, dan efek sampingnya jauh lebih ringan.

Diky menegaskan bahwa pengobatan baru ini membawa harapan baru bagi penderita TBC RO. “Sekarang, pengobatan tidak membuat penderita merasa sangat menderita. Bahkan, mereka masih bisa beraktivitas setelah meminum obat,” katanya. Dia juga meminta dukungan masyarakat untuk tidak mendiskriminasi penderita TBC, mengingat penyakit ini mudah menular dan dapat menyebabkan kematian.

Associate Director Yayasan KNCV Indonesia, dr. Yeremia PM Runtu, menyambut baik kemajuan ini dan mendorong sosialisasi lebih luas mengenai pengobatan BPaL/M. “Dengan pengobatan baru ini, penderita TBC RO dapat lebih nyaman, dan sekitar 80-90% kasus bisa diobati dengan metode ini,” jelas Yeremia.

Yeremia juga mengungkapkan bahwa kasus TBC RO primer—dimana seseorang tidak memiliki riwayat TBC sebelumnya namun langsung terkena TBC resisten—semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh mutasi kuman TBC yang semakin kuat dan dapat menular melalui udara.

Yeremia menyoroti dampak serius dari TBC jika tidak diobati dengan tuntas. “TBC dapat menyebabkan kematian yang lebih banyak dibandingkan Covid-19. Setiap tahun, ada sekitar satu juta kematian di Indonesia akibat TBC,” ungkapnya. Selain itu, penderita TBC sering kali mengalami penurunan produktivitas, masalah sosial, dan ekonomi.

Oleh karena itu, Yeremia menekankan pentingnya program TOSS (Temukan, Obati Sampai Sembuh) untuk mencegah penyebaran TBC dan memastikan pengobatan dilakukan hingga tuntas. “TBC bukan hanya isu kesehatan tetapi juga isu sosial ekonomi. Kita harus cegah dengan menemukan penderita dan mengobati hingga sembuh,” tandasnya.