KabarJawa.com — Musim hujan yang telah tiba membawa dampak buruk bagi puluhan petani tembakau di Desa Tatung, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Akibat curah hujan yang tinggi, sekitar 60 hektare lahan tembakau di desa tersebut terendam banjir. Kondisi ini membuat petani menghadapi kerugian besar karena tidak dapat menghasilkan tembakau berkualitas baik, sementara proses penjemuran daun juga terkendala hujan terus-menerus.
Lahan tembakau yang terendam banjir membuat daun tembakau layu dan rusak sebelum waktunya. Banyak petani terpaksa memanen daun tembakau lebih awal meski kualitasnya menurun drastis. Harga jual daun tembakau pun anjlok. Salah satu petani, Sumarto, menceritakan kesulitan yang ia hadapi akibat kondisi tersebut.
“Mati ini tembakaunya, sarinya sudah habis, tapi ya terpaksa harus dipanen meskipun harus rugi,” ujar Sumarto kepada wartawan, Jumat (29/11/2024).
Sumarto menjelaskan bahwa seluruh tanaman tembakaunya layu dan tidak bisa tumbuh optimal karena sawahnya kini terendam banjir. Ia pun terpaksa memanen dini daun-daun tembakaunya meskipun mengetahui hasil panen tersebut akan dihargai jauh lebih rendah dari biasanya.
“Biasanya rajang kualitas baik bisa dihargai mulai Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per kilogram. Namun, untuk tembakau yang terendam banjir, harganya hanya maksimal Rp15 ribu per kilogram. Turun separuh harga,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Sumarto juga menghadapi kesulitan dalam proses pengeringan tembakau karena cuaca yang tidak mendukung. Daun tembakau yang sudah dipanen harus segera dijemur agar tetap bisa dijual, tetapi hujan yang terus turun membuat proses ini menjadi sangat sulit.
Kepala Desa Tatung, Rudi Sugiharto, mengungkapkan bahwa curah hujan tinggi yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir menyebabkan banjir di sebagian besar lahan pertanian desa. Dari total 120 hektare lahan pertanian di Desa Tatung, sekitar 60 hektare lahan tembakau terdampak banjir.
“Saat ini seluruh lahan tembakau di Desa Tatung terendam air karena curah hujan yang cukup tinggi di beberapa minggu terakhir,” jelas Rudi.
Ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar petani tembakau di desanya biasanya bisa memanen daun tembakau sebanyak tiga hingga lima kali. Daun bagian atas umumnya dihargai lebih mahal karena memiliki kualitas terbaik dibandingkan daun-daun di bagian bawah. Namun, dengan kondisi saat ini, para petani tidak bisa memaksimalkan hasil panen mereka.
“Hanya bisa dipanen semampunya karena kemampuan petani untuk mengeringkan tembakau juga terbatas. Tetap dipanen, tapi proses pengeringannya terhambat,” imbuhnya.
Rudi menambahkan bahwa kondisi ini tidak hanya berdampak pada penghasilan petani tetapi juga pada roda ekonomi masyarakat desa secara keseluruhan. Pasalnya, banyak petani bergantung pada hasil tembakau sebagai sumber utama penghidupan mereka.
Bagi petani tembakau, masa panen biasanya menjadi saat yang ditunggu-tunggu karena daun tembakau berkualitas tinggi bisa menghasilkan pendapatan yang cukup besar. Namun, musim hujan yang datang lebih awal dari perkiraan tahun ini menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan usaha mereka.
“Sebenarnya daun tembakau paling atas bisa dijual dengan harga tinggi, apalagi jika proses pengeringannya berjalan baik. Tapi sekarang, untuk mengeringkan saja sudah sulit, apalagi mendapatkan kualitas yang bagus,” kata Sumarto.
Menurutnya, kondisi ini memaksa petani untuk mencari alternatif sumber pendapatan lain di tengah musim panen yang gagal. Namun, bagi sebagian besar petani yang sudah terlanjur menginvestasikan waktu, tenaga, dan biaya dalam budidaya tembakau, kerugian besar ini sulit untuk diatasi dalam waktu singkat.
Para petani berharap ada bantuan dari pemerintah untuk membantu mereka menghadapi kerugian ini. Salah satu bentuk bantuan yang diharapkan adalah pemberian alat pengering tembakau atau subsidi untuk kebutuhan dasar petani. Selain itu, pembangunan saluran irigasi atau infrastruktur pencegah banjir juga menjadi harapan agar kejadian serupa tidak terus berulang setiap musim hujan tiba.
“Kami berharap pemerintah bisa memperhatikan nasib petani tembakau, karena kami benar-benar kesulitan. Kalau dibiarkan begini terus, lama-lama petani bisa bangkrut,” ujar Sumarto.
Kepala Desa Rudi juga menyatakan bahwa pihaknya akan mencoba mengajukan bantuan kepada pemerintah daerah untuk membantu petani yang terdampak. Ia berharap ada solusi jangka panjang yang dapat mencegah banjir di kawasan pertanian Desa Tatung.
Meskipun situasi saat ini sangat sulit, para petani di Desa Tatung tetap berusaha untuk bertahan dan mencari cara agar tetap bisa mendapatkan penghasilan dari hasil panen mereka. Mereka berharap curah hujan akan berkurang dalam waktu dekat sehingga proses pengeringan daun tembakau bisa kembali berjalan lancar.
“Harapannya, cuaca cepat membaik supaya tembakau yang tersisa masih bisa dipanen dan dijual, meskipun tidak banyak,” ujar Sumarto dengan nada penuh harapan.
Kisah perjuangan petani tembakau di Ponorogo ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi sektor pertanian saat menghadapi perubahan cuaca ekstrem. Di tengah kondisi yang sulit, para petani tetap menunjukkan semangat pantang menyerah untuk terus berjuang demi kelangsungan hidup mereka.