KabarJawa.com — Dian Kurniawati masih ingat saat anaknya baru menginjak 4 bulan dokter kandungan setelah melihat hasil CT Scan memberitahunya bahwa anaknya mengalami pengerutan di otak depan.
Dokter menyatakan kepadanya bahwa tak usah khawatir lantaran masalah tersebut bisa diobati dengan vitamin perkembangan otak.
Semula Dian nampak tenang mendengar penjelasan dokter tersebut. Namun setelah sebulan berjalan, ia mengamati tak ada perkembangan yang berarti pada anaknya.
“Setelah satu bulan tak ada perkembangan akhirnya saya cari dokter ke RSCM yang bisa menangani dia (anak saya), ketemu Prof Taslim akhirnya didiagnosa ini Cornelia de Lange Syndrome atau CdLS (kelainan genetik),” kata Dian yang anaknya merupakan penyandang CdLS dalam seminar yang digelar oleh Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia bertema “Mengenal dan Peduli Pada CdLS” di Universitas Katolik Soegijapranata, Senin 20 Maret 2023.
Ia sempat bingung bagaimana bersikap menangani anak CdLS lantaran itu baru pertama kejadian di Indonesia. Ia juga merasa khawatir kalau pengobatan CdLS anaknya bisa menguras kantongnya, terlebih saat itu belum ada asuransi kesehatan seperti BPJS saat ini yang menanggung biaya pengobatan.
“Saya mau gak mau, siap gak siap harus menerima. Kalau saya down gimana nasib anak ini, kalau saya putus asa, siapa yang mengurus anak ini,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dukungan dari keluarga dan dokter kemudian menguatkan Dian. Ia akhirnya kemudian patuh mengikuti prosedur pengobatan anaknya sesuai anjuran dokter.
Dian sadar bahwa pengobatan saja tak cukup bagi anaknya yang menderita CdLS. Anaknya juga butuh fisioterapi, terapi okupasi agar mendapatkan stimulasi yang baik.
Fisioterapi terus ia lakukan tak hanya mengandalkan terapis di rumah sakit, namun ia juga jalankan di rumah. “Dengan begitu perkembangan anak saya mulai bisa berjalan meski terlambat pada usia 2,5 tahun,” katanya
Dian mafhum dalam merawat anaknya yang menderita CdLS bukan perkara mudah. Pasalnya anak CdLS juga bersikap emosional.
Hal ini dikarenakan anak tersebut susah menyampaikan apa yang dirasakan. Di sisi lain orang tua juga kadang bingung untuk dapat mengerti kemauan anak tersebut.
Ia menyampaikan agar orangtua anak penyandang CdLS membutuhkan dukungan dari orang terdekat dari pasangan, keluarga dan orang sekitar. Pasalnya sampai saat ini masih adanya stigma masyarakat terhadap kebutuhan khusus.
Ia berharap ke depan anak CdLS bisa berharap dapat dideteksi lebih dini. “Saya sih berharap ke depannya anak anak ini bisa tertangani dengan baik.” katanya
CdLS Terjadi Karena Mutasi Genetik
Dokter Spesialis Anak, Riza Sahyuni mengatakan CdLS diambil dari nama dokter Cornelia de Lange Syndrome pada tahun 1933 yang menyempurnakan penelitian CdLS. Namun, sebelum itu, CdLS telah lebih awal ditemukan oleh dokter Winfried Brachmann pada tahun 1916.
“Kenapa tidak bisa dideteksi sejak lahir karena mutasi genetik antara gabungan 23 (kromosom) bapak dan 23 ((kromosom) ibu pada saat pertemuan atau pembuahan itu ada proses perubahan transkip antara kromosom,” katanya
Ia menjelaskan pada penyandang CdLS terjadi perubahan genetik pada kromosom nomor 5 atau 10. Penyebabnya tak diketahui pasti, yang jelas ada tiga faktor.
Pertama faktor karena manusianya karena kurang fit dan faktor kedua bisa juga karena agen yakni virus atau infeksi parasit. Faktor terakhir yakni faktor lingkungan karena polusi udara seperti bahan radioaktif, bahan bahan kimia pestisida. “Sampai sekarang kenapa terjadi CdLS kita tidak tahu. Kalau kejadian Cornelia de Lange itu hanya 1 banding 10.000 kelahiran itu termasuk jarang, tetapi ada,” katanya.
Bentuk kelainan penyandang CdLS bervariasi mulai ringan hingga berat, tergantung kepada mutasinya. Namun yang jelas penyandang CdLS memiliki ciri khas yang dapat diamati dari alis yang menjadi satu, letak telinga lebih rendah, bentuk hidung yang lebih kecil.
Bentuk tersebut baru bisa dilihat pada saat usia anak berkembang yakni pada usia dua tahun. Selain ciri fisik, anak penyandang CdLS juga memiliki masalah utama seperti keluhan makan minum muntah, gangguan pencernaan, intelektual, gangguan tulang, yang semuanya menyebabkan gangguan pertumbuhan.
“Sehingga problem ini saya lebih senang ada persatuan orang tua. Kalau orang tua bercerita mungkin lebih membantu lebih semangat, Insya Allah, anak itu titipan kita bisa menjaga amal dan ibadah tergantung pada anak,” katanya
Dokter Indra Adi Susanto, Dosen Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata menjelaskan orang tua sebenarnya dapat mengetahui saat anaknya masih bayi masih dalam kandungan untuk diperiksa kemungkinan anak tersebut penyandang CdLS. Hal ini dapat dilihat pada bentuk alis yang menyatu kemudian bentuk hidung, tangan, serta jantungnya.
“Maka seharusnya si ibu melakukan pemeriksaan PAPP-A maternal serum, hanya memang mahal sekali dan membutuhkan waktu satu bulan (hasilnya),” katanya
Di samping itu, tak semua dokter bisa mengamati keadaan bayi lantaran posisi badan bayi selalu bergerak. Selain itu, ia menjelaskan hasil tersebut masih bersifat kemungkinan menderita CdLS lantaran tak boleh mengambil tindakan diagnosis terlalu dini.
Oleh sebab itu,masih banyak tes-tes yang dilakukan untuk mengkonfirmasi kebenaran tersebut. “Kecenderungannya seperti ini konfirmasi 100% setelah bayi lahir,” ujar dokter Indra.
Selain itu, ia juga menjelaskan ada kasus saat USG anak terlihat normal bisa juga setelah lahir ternyata mengalami kelainan mutasi dan menyandang CdLS.
“Ini alur yang harus didapat setidaknya orang tuanya lebih siap (tertangani) apa yang harus bisa dikoreksi itu bisa mempercepat setidaknya gak ada keterlambatan diagnosa CdLS,” katanya.
Liputan: Ulil Albab